Salah Kaprah antara Sura dan Muharram Oleh: Tiar Anwar Bachtiar 20 Januari 2007 atau bertepatan dengan tahun baru Hijriyah, 1 Muharran 1428 banyakorang mengadakan peringatan। Sayangnya, banyak yang salah kaprah Hari sabtu tanggal 20 Januari 2007 kemarin ditetapkan pemerintah sebagai hari liburnasional menyambut tahun baru Hijriyah, 1 Muharran 1428। Hari itu juga bertepatandengan tanggal 1 Suro 1940 Çaka (baca: Syaka)। Di berbagai tempat banyakperingatan-peringatan dilakukan। Sebagian ada yang melakukan peringatan dimesjid-mesjid dengan mengadakan muhasabah dan pengajian, sementara di tempat-tempattertentu seperti di Keraton Jogja, Surakarta, Banyuwangi, dan beberapa tempat laindi pesisir pantai utara diselenggarakan ritual-ritual yang selalu diselenggarakansstiap tanggal 1 Suro. Masalahnya, banyak sekali media, terutama pemberitaan televisi yang menyamakan sajaperingatan 1 Muharram yang berasal dari kalender Hijriyah dengan peringatan 1 Suroyang mengikuti perhitungan kalender tahun Çaka. Misalnya, kirab di Keraton Jogja danSolo serta ritual Jamasan (mencuci benda-benda pusaka) dianggap sebagai rangkaianupacara dalam memperingati Tahun Baru Islam, Hijriyah. Padahal, upacara-upacara adatitu, secara asal-usul budaya, sama sekali bukan dalam memperingati tahun baru Islam,melainkan memperingatai tahunn baru Çaka yang memang selalu jatuh hampir bersamaandengan kalender Hijriyah. Kesalahan persepsi itu berakibat cukup fatal. Aroma sinkretisme sengaja dibangunkembali seolah-olah Islam membolehkan praktik-praktik upacara semacam itu. Mediamembentuk opini bahwa upacara-upacara itu merupakan bagian dari tradisi Islam,padahal sama sekali berbeda. Dalam Islam jangankan melakukan upacara-upacara sepertiJamasan, mempersembahkan sesaji berupa kepala kerbau yang dilarung ke laut, ataukirab dengan rangkaian upacara tertentu, benar-banr memperingati tahun baru Hijriahdengan cara muhasabah dan menyelenggarakan pengajian-pengajian pun masihdiperselisihkan. Sebagian ada yang membolehkan, tentu dengan catatan bahwa pelaksanaannya hanyalahsebagai aktivitas biasa seperti pengajian-penagjian biasa pada umumnya; hanyawaktunya saja memilih tanggal 1 Muharram. Namun, sebagian ulama lain tegas-tegasmenolak karena Rasulullah atau para sahabat tidak pernah mencontohkan. Bahkan, nama Hijriyah sendiri tidak pernah dikenal pada zaman Rasulullah karena barudiuat pada zaman Khlaifah Umar ibn Khaththab, apalagi diperingati. Jelas kalau inidianggap ritual akan termasuk ke dalam kategori bid'ah; dan bila dibiasakan akan adasangkaan dari masyarakat awam bahwa ini merupakan bagian dari ritual ibadah yangharus di laksanakan. Kalau itu terjadi, telah terjadi penyesatan pada umat. Olehsebab itu, untuk mengantisipasi terjadi hal semacam itu, lebih baik tidak dilakukankegiatan apapun untuk menyambutnya. Ini diasaskan pada kaidah sadd al-dzara'ah(tindakan preventif). Untuk melihat bahwa antara Sura dan segala tradisinya dengan Muharram adalah sesuatuyang berbeda, kita mesti melihat sejarah penanggalan keduanya. Kalau ini tidakdidudukkan, maka selalu akan terjadi penyamarataan yang akhirnya merugikan citraIslam dan Umat Islam. Berikut akan dipaparkan sekilas mengenai masalah ini. Perbedaan Perhitungaan Astronomis Biasanya, pergantian tahun Hijriyah memang hampir selalu bersamaan dengan pergantiantahun baru Çaka Jawa. Bila bulan baru Hijriyah diawali oleh bulan Muharram, makatahun Çaka-Jawa diawali oleh bulan Sura (baca: Suro). Hanya saja, awal tanggalsetiap bulan kadang bersamaan, kadang berselisih satu hari. Perbedaan ini mudah sajadimaklumi. Tahun Hijriyah tergolong astronomical calendar (dihitung berdasarkan pengamatanastronomis) sedangkan tahun Jawa termasuk mathematical calendar (dihitung denganhitungan aritmatis yang pasti). Sekalipun sama-sama berbasis pada perhitunganperedaran bulan, kadang terjadi beda penghitungan. Perbedaan cara penghitungan ini juga berimplikasi pada penentuan tanggal bulan barumasing-masing kalender. Penetapan bulan baru (hilal) pada kalender Hijriyahseringkali dipersengketakan karena perbedaan dalam penghitungan visibilitas hilal(keterlihatan bulan baru). Sementara penghitungan kalender Çaka-Jawa tidakbergantung pada visibilitas hilal yang sesungguhnya, tapi pada perhitungan yangmereka pastikan sebagai bulan baru. Oleh sebab itu, kalender Çaka-Jawa dapatdihitung secara konsisten seperti penghitungan kalender Masehi hingga jarangdiperselisihkan. Kedua kalender tersebut jelas berbeda. Selain berbeda cara penghitungan, jugaberasal dari tradisi yang berlainan. Yang satu berasal dari tradisi Arab sedangkanyang lain dari tradisi Jawa. Akan tetapi, sekali-kali perhatikan nama-nama hari,bulan, dan tahun pada kalender Çaka-Jawa. Nama-nama itu memperlihatkan pengaruhArab-Islam yang sangat kuat. Nama hari pada kalender Çaka-Jawa (Ahad, Senen, Seloso, Rebo, Kemis, Jemuah, danSetu) sangat mirip dengan nama hari dalam kalender Hijriyah (Ahad, Itsnain,Tsulatsa', Arbi'a', Khamis, Jum'ah, dan Sabt). Nama-nama bulan yang digunakan (Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal,Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Hapit, Besar) pun diambil dariperistiwa-peristiwa penting dalam tradisi Islam. Sura diambil dari kata 'Asyura (10Muharram), tanggal terbunuhnya Husein ibn Ali di Padang Karbala yang sangat pentingdalam tradisi Islam (Syi'ah) dan tanggal yang oleh Nabi dianjurkan puasa padanya.Nama “Mulud” diambil dari kata “Maulid” (dilahirkan), maksudnya bulan dilahirkannyaNabi Muhammad Saw. Poso, nama Jawa untuk bulan Ramadhan, diambil dari aktivitas yangwajib dilaksanakan pada bulan itu, yaitu “puasa” (jawa: poso). Nama bulan-bulan yanglain pun demikian. Mungkin kita bertanya-tanya, kenapa ini bisa terjadi? Padahal, nama Çaka sendiriberasal dari mitologi Hindu-Jawa, Aji Çaka. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwakedatangan orang-orang Hindu di Jawa menandai dimulainya zaman baru, yaitu zaman AjiÇaka yang menurut perhitungan mereka zaman itu bersamaan dengan tahun 78 Masehi.Oleh sebab itu, tahun Çaka dan tahun Masehi berselisih 78 tahun. Siklus delapantahunan yang disebut Windu juga berasal dari tradisi Hindu bukan Islam. Akan tetapinama-nama tahunnya diadaptasi dari nama-nama huruf Arab yang tentu saja dibawa olehorang-orang Islam. Lihat saja nama-nama berikut: Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be,Wawu, dan Jimakir. Itu adalah nama-nama tahun dalam siklus delapan tahunan kalenderÇaka-Jawa. Sisi ini menarik untuk digali. Kalender Çaka yang digunakan orang-orang Jawa-Hindu dahulu pada mulanya dihitungberdasarkan pergerakan matahari (sistem matahari) seperti kalender Masehi. Nama-namayang dipakai untuk manandai hari dan bulan pun masih sangat Hindu-sentris. Siklustujuh harian mereka namai dengan nama-nama Hindu seperti: Adite (Ahad), Soma(Senin), Hanggara (Selasa), Budha (Rabu), Respati (Kamis), Sukra (Jum'at), Tumpak(Sabtu). Nama untuk siklus dua belas bulanan pun mereka namai dengan nama-nama Hinduantara lain (diurut mulai dari bulan pertama): Srawana, Badrapada, Aswina, Kartika,Margasira, Pusya, Mukha, Phalguna, Caitra, Waishaka, Jyestha, Asadha. Runtuhnya Majapahit di tangan penguasa Demak pada tahun 1478 M menandai runtuhnyabenteng terakhir supremasi kekuasaan Hindu di Indonesia. Para sejarawan menyebuttahun itu sebagai permulaan "Zaman Baru" dalam sejarah Indonesia. Supremasi Islammulai berkibar di seantero Nusantara. Seiring dengan itu, simbol-simbol kebudayaanHindu sedikit demi sedikit diganti dengan simbol-simbol kebudayaan Islam. Prosesperubahan itu biasanya tidak secara drastis. Simbol-simbol lama tetap dipakai, namunesensinya diislamkan. Contohnya pertunjukan wayang. Wayang tetap digunakan sebagaimedia, namun ceritanya diubah dan dimodifikasi agar sesuai dengan pesan-pesan Islam.Ajaran-ajaran Islam pun banyak yang dikemas dalam tembang-tembang khas Jawa.Begitulah cara yang dipakai oleh para pendakwah Islam waktu itu. Konon, SunanKalijaga adalah salah satu yang paling sering menggunakan cara-cara seperti itu. Proses Islamisasi itu sampai juga pada sistem penanggalan. Sistem pananggalanÇaka-Hindu sudah sangat mendarah daging di kalangan masyarakat Jawa, karena sudahmereka gunakan berabad-abad. Tentu saja, untuk menggantikannya secara drastis akanmenimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Sunan Giri, semasa pemerintahan Demak(akhir abad ke-15 M), berhasil menemukan formula pengislaman kalender Çaka-Hindu. Caranya dengan mengubah nama hari dalam siklus tujuh harian kalender Çaka-Hindudengan nama hari dalam kalender Hijriyah--tentu dengan penyesuaian aksen Jawaseperti itsnain menjedi senen. Selain siklus tujuh harian kalender Çaka-Hindu jugamemiliki siklus lima harian dengan nama sendiri. Siklus lima harian ini dibiarkantidak diubah, kemudian digabungkan dengan nama-nama hari dalam siklus tujuh harianyang telah diubah. Nama-nama hari dalam siklus lima harian ini adalah legi, paing,pon, wage, dan kliwon yang biasa disebut pancawara atau pasaran. Jadilah hari dalamkalender Jawa yang baru disebut bersama nama pasaran-nya seperti Jemuah Kliwon, ReboPahing, dan sebagainya. Puluhan tahun berikutnya setelah formula ini cukup tersosialisasikan, Sultan AgengHanyokrokusumo, penguasa Mataram berinisiatif untuk menggunakannya secara resmi.Maka kemudian tanggal 1 Muharram 1043 H (8 Juli 1633 M) ditetapkan sebagai tanggal 1Suro tahun Alip (1555 Çaka baru atau Çaka-Jawa). Sistem penanggalan yang dipakai pun diubah dari sistem matahari menjadi sistem bulanmengikuti penanggalan Hijriyah. Seiring dengan perubahan sistem yang dipakai,nama-nama bulan pun diubah, namun tidak semuanya mengadaptasi nama bulan dalamkalender Hijriyah. Pengubahan nama disesuaikan dengan peristiwa keagamaan yangterjadi pada bulan bersangkutan. Selain hari dan bulan yang diubah, hitungan tahunÇaka tidak diubah mengikuti hitungan tahun Hijriyah. Hitungan tahun tetapmenggunakan hitungan lama. Sejak saat itulah pergantian tahun Çaka selalu hampirbersamaan dengan pergantian tahun Hijriyah. Tapi tentu, keduanya tetap tidak sama.(Hidayatullah) *) Penulis adalah Staf Pengajar Pesantren Persatuan Islam 19 Bentar Garut KetuaDivisi Kajian Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Jakarta
Assalamu'alaikum wr wb
Email ini dikirim dari situs Swaramuslim.net, tidak ada maksud lain tuk psting di blog ini hanya semata-mata tuk menyebarkan dakwah islamiyah n dapat dijadikan renungan bagi kita semua, thanks moga keimanan yang ada dalam hati kita ini dapat dipertahankan sampai akhir hayat kita Untuk melihat isi silahkan click berikut ini :
http://swaramuslim.net/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar